Thursday, April 26, 2007

Tentang Model Pengelolaan Brand

Beberapa agency ataupun pemilik brand, mengembangkan modelnya sendiri. Yah, misalnya Ogilvy dengan 360 Brand Stewardship, atau Unilever dengan BrandKey.

Model-model tersebut mungkin diberi nama aneh-aneh, istilah-istilah yang digunakan juga bisa macam-macam.

Terlepas dari nama dan istilah, model-model tersebut, bisa jadi sebenarnya mirip-mirip, karena dibuat dengan tujuan yang sama:

1. menjadi pondasi pengeloaan brand, serta
2. membuat silau bagi hadirin peserta presentasi.....

Model core value sebuah brand bisa jadi terlihat sophisticated, karena memang merupakan pondasi pengembangan sebuah brand.

Model tersebut memberi arahan bagi pengembangan Kreatif, kampanye komunikasi, brand extension, pengembangan produk dan layanan, serta bahkan pemilihan media.


Pada dasarnya, model tersebut mendefinisikan positioning, diferensiasi, kepribadian, profil konsumen, serta aspek-aspek lain dari sebuah brand.

Untuk menyusun sebuah model, seorang brand manager/account planner berangkat dari pemahaman terhadap konsumen. Karena itu insight terhadap konsumen, kondisi brand pada saat ini, serta persaingan yang sedang berlangsung, seringkali menjadi bagian yang terintegrasi dalam sebuah model.

Kita bisa jadi akan menemukan konsep atau deskripsi yang absurd (haha..) seperti "Bukan Basa-Basi", "Urban Energetic Youngsters", "witty", atau "The Cheerful Humanist" dalam model-model ini.
Pada dasarnya, konsep, deskripsi, dan pernyataan yang aneh-aneh ini adalah upaya membahasakan generalisasi temuan riset, atau suatu gagasan abstrak, untuk disampaikan dalam bentuk brief bagi pengembangan selanjutnya.

Karena itu kemampuan abstraksi, perbendaharaan vocabulary (wuaahahahaa..), sensififitas, ke-tegaan untuk nge-judge dan menggeneralisasikan orang lain (hakakakk..) adalah amat penting ketika kita berhadapan dengan sebuah model.

Tantangannya adalah, bagaimana model brand tersebut bisa diterjemahkan secara konsisten, fleksibel, dan inspiring bagi pengembangan selanjutnya. Untuk ini, kita perlu otoritas, legitimasi, karisma dan niat yang kokoh, sebagai seorang Soul Guardian (dalam istilah Om DanRem, Idea Custodian).

Ini tidak mudah, apalagi ketika berhadapan dengan orang Kreatif yang pengen nyeleneh, Manager Regional yang bahasa inggrisnya seperti berkumur, klien yang keukeuh, dan terutama... masyarakat yang begitu kompleks dan dinamis sebagai sasaran komunikasi kita.

Thursday, March 01, 2007

Kepribadian yang Membedakan Sebuah Brand

Ada sebuah postingan di sebuah milis yang mempertanyakan kenapa semua produk kecantikan iklannya mirip. Bahkan sama. Menawarkan hal yang sama, ngomong hal yang sama, katanya.

Citra dan Pond as well as produk pemeliharaan wajah lainnya, sepertinya tidak beranjak dari pesan yang itu-itu lagi. Bahkan iklan award-winning seperti Smooth-E, sama juga ngomongin itu.

Hanya saja iklannya pan
jaang. Tentu saja konsumen memang bermaksud mencari produk yang membuat kulit mereka bersih, putih, lembab, dan sehat, sehingga terlihat cantik.

Begitukah? Ah, benarkah?


Setiap brand yang baik, punya identitas. Jiwa. Esensi.
Dan ketika brand ini mengkomunikasikan dirinya, identitas ini mewujud. Identitas ini mungkin didasari pemahaman terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen.

Sebut saja Citra, karena brand ini yang digunakan sebagai judul.
Coba bayangkan, jika Citra ini seseorang. Orang seperti apakah dia? Perempuan. Pastinya. Muda. Belum bekerja. Tapi bukan remaja.

Okay, lebih spesifik yah. Hmm.. 22?
Sip. Jadi si Citra ini udah lulus sekolah tapi belum menemukan pekerjaan yang tetap. Mungkin dia memang belum ingin kerja? Mungkin dia tidak se-ambisius itu terhadap karier? Owh, mungkin dia tipe rumahan yah. Seseorang yang lembut dan penyayang. Okay, uhm.. we got it; Citra, seorang gadis berusia 22 tahun yang lembut dan penyayang.

Citra tidak ambisius. Tidak juga ingin menonjolkan diri. Mungkin dia anak kedua dari 8 bersaudara. Gadis manis yang membantu ibunya mengasuh adik-adik dengan penuh kasih sayang. Dalam kaitannya dengan kecantikan dan kosmetika dan personal grooming, Citra tidak ingin berlebihan. Dia tidak menginginkan kulit yang putih bersinar. Dia tidak mau jadi pusat perhatian. Dia bahkan terlalu malu untuk mengakui bahwa dirinya memang cantik. Dia hanya ingin produk yang bersahaja, seperti dirinya.

Hanya satu kegelisahan Citra. Dia jatuh hati pada seorang pemuda di lingkungannya. Hanya saja pemuda itu nampaknya tidak menyadari keberadaan dirinya.
Citra hanya ingin, sesekali kecantikannya dapat menggantikan dirinya untuk berbicara. Mengungkapkan kecantikan dan kemurnian dirinya yang terpendam..

*ini foto Maudy Koesnaedi. Pernah jadi duta Rumah Cantik Citra. Sepertinya sebagian orang Indonesia masih mengingat dia sebagai Zaenab di sinetron Si Doel.

Nah, sekarang mari kita bayangkan sosok Si Ponds dan Si Dove...
Kalo niat, cari muka yang pas di geti dan korbis.. Atau justru lokal punya yah.

Maksud saya, setiap brand yang baik (dan kebetulan semua brand yg disebut tadi, dikelola cukup baik) tentu punya kepribadian yang membedakannya dari brand lain. Jadi mereka beda-beda dan unik, punya kepribadian masing-masing.

Jika kemudian iklan-iklan mereka nampak monoton, itu karena pengelola brandnya ingin terus mengkomunikasikan kepribadiannya secara konsisten. Tantangannya, bagaimana pengolahan kreatif dapat mengkomunikasikan sosok/kepribadian ini secara menarik. Kita lihat iklan Citra, dengan berbagai versinya terus mengkomunikasikan hal yang sama.

Mungkin mereka menyebutnya
The Cheerful Humanist, The Flower In The Window. Atau apa gitu. Generalisasi psikografis gitu lah. Riset Lowe 2005.

Friday, February 09, 2007

Advertising Survival and Media Diversification

Kita sering liat iklan yang tidak kita sukai. Mungkin iklannya memang jelek, mungkin TVC mulai ketinggalan jaman, atau mungkin iklannya memang tidak ditujukan buat kita.

Kalau sebuah kampanye telah direncanakan dengan matang untuk ditujukan kepada TA tertentu, dan memang jadi iklan-iklan yang bagus, seseorang akan suka bahkan rela meluangkan waktu dan uang untuk iklan-iklan tersebut. Pembuat Skype (yang saya lupa namanya), baru-baru ini diwawancara untuk rencana dia bikin TV berlangganan gratis via internet. Dia yakin orang masih mau liat iklan, dengan mencontohkan majalah-majalah kosmopolis (hah..) yang memang isinya banyakan iklan (iklan baju, iklan kosmetik, dsb). Asal itu tadi, iklannya memang destinated untuk suatu TA tertentu jadi yang nontonnya juga tetap merasa asik.

Di sini kita liat pentingnya perencanaan yang didasarkan pada pemahaman terhadap keinginan TA kita. Ngobrol kan lebih asik dan akrab kalau kita sudah kenal dengan siapa yang kita ajak bicara. Obrolan apa yang dia bakal suka, gimanhttp://www2.blogger.com/post-edit.do#a bahasa kalo ngobrol dengan dia… dsb. Karena sifatnya yang komunikatif inilah memang, kita semestinya berpikir untuk bikin komunikasi, bukan sekadar bikin iklan yang lucu atau asik bikinnya.

Sifat TV memang meluas. Siapa aja bisa nonton. Apalagi dengan sistem penyiaran seperti yang ada sekarang di Indonesia yang dipenuhi TV jangkauan nasional. Dengan kondisi ini, mungkin saja iklan yang udah dibikin dengan penuh perencanaan dan pemahaman TA, ditonton juga oleh orang jenis lain yang ga dimaksud. Nah ini bisa kita bawa sampai ngomongin perencanaan media, dan dari sini obrolannya bisa meluas ke mana-mana.

Ngomong-ngomong soal industri media, saya punya dugaan bahwa dengan ketatnya persaingan antara corporate media yang diruncingkan oleh transcorp, kita masih akan liat setidkanya satu merger/akuisisi lagi. Apa artinya ini buat pembicaraan kita?

Konglomerasi memungkinkan media-media untuk lebih terkoordinasi dalam mengambil posisinya masing-masing. Sebuah perusahaan yang megang 2 stasiun TV, punya kemampuan agar TVnya saling melengkapi: yang satu buat ditonton ibu-ibu dan yang satu lagi untuk bapak-bapak, misalnya. Jadi situasi dalam industri media sekarang, bisa membawa kita ke era di mana TV-TV sudah lebih fokus ke penonton. TV yang lebih komunikatif.

Kita bahkan belum ngomongin teknologi-teknologi terbaru dalam broad dan pod casting. Ini hubungannya dengan komunikasi yang lebih interaktif lagi antara media dan audiens.

Jadi tantangannya akan semakin menarik. Pilihan media yang lebih beragam dan terfokus.

Kalau kamu media planner, kamu ibarat punya palet dengan warna cat yang lebih banyak, dan kamu bisa mencampur lebih banyak lagi warna-warna. Mix them. In your palette. Hey, mungkin itu kenapa di Dentsu, departemen medianya disebut Media Palette.

Kalau kamu anak kreatif, kamu jadi bisa bikin iklan yang pesannya lebih spesifik dan khusus untuk kalangan tertentu. Bisa bikin iklan lebih banyak karena dari satu ide yang umum, kamu akan disuruh bikin beberapa versi untuk berbagai daerah dan berbagai bahasa, misalnya. Bisa bikin lucu-lucuan yang cuma dimengerti anak Bandung, mungkin? Atau guyonan khas Jogja?

Intinya, industri ini akan menjalin hubungan yang semakin erat dan sok akrab dengan audiensnya. Di mana tantangannya bukan sekadar untuk menarik perhatian orang untuk mendengar dan membaca, tapi memancing interaksi yang komunikatif.


Wednesday, December 06, 2006

Ideologi dalam Secangkir Kopi


Look and feel secangkir kopi dari mesin otomat Nestle di cK, beserta segenap pengalaman membeli,
mendapatkan, dan menikmatinya di tengah praktek sosiokultural dalam pergaulan remaja masa kini, merupakan topik kita kali ini. Semiotika banget lah.

Banyak cara dan sudut pandang dalam melihat sesuatu. Dalam perspektif cultural studies, kita melihat segala artefak budaya sebagai teks. Teks dan bahasa-bahasa itu digunakan dalam wacana, praktek sosial. Dan masyarakat berbagi kognisi sosial. Melalui produksi dan pertukaran makna itu kita menyepakati makna yang serupa untuk suatu tanda. Karena praktek wacana tersebut tidak hanya melibatkan bahasa yang lugas melainkan juga berbagai teks-teks yang kompleks, bersilangan dan abstrak, seringkali kita mencapai kesetujuan-kesetujuan tanpa benar-benar menyadarinya.

Ketika mendorong pintu kaca, keluar dari sebuah toko 24 jam, perlahan saya menyadari sesuatu yang ternyata telah saya setujui bersama segenap generasi saya. Coffee in a paper cup seakan jadi simbol untuk nongkrong bareng dan begadang di jalan-jalan tergaul Bandung. Cangkir-cangkir kertas berserakan di sekitar tangga, di sudut-sudut emperan, dan di sekitar tempat-tempat yang dipakai untuk duduk. Tidak hanya cangkir, tapi juga abu rokok, botol-botol hijau, dan kemasan plastik.

Pada saat yang sama, saya menggenggam cangkir kertas serupa. Hangat dan mengepulkan aroma manis yang begitu familiar. Nescafe black with creamer and two sugars. Dalam cangkir corrugated paper dengan tutup plastik “sip through”.

Cangkir kertas yang menahan panas, serta tutup plastiknya yang mencegah tumpah, tidak hanya memiliki tujuan fungsional. Saya melihatnya sebagai gejala intertekstualitas, mengingat kemasan ini digunakan juga oleh Starbucks—dan kedai semacamnya.

Jenis cangkir kertasnya beda, tapi bentuk dan strukturnya serupa. Ini tidak saya lihat secara fungsional dan ergonomis, melainkan peniruan sintagmatik. Sintagmatik adalah tentang struktur dan susunan, sementara paradigmatik adalah pemilihan varian elemen di dalamnya.

Walaupun nescafe instan ini harganya sepersepuluh espresso betulan, menggenggam cangkir kertas ini dapat dihubungkan dengan familiarnya seseorang dengan Starbucks. Konotasi berikutnya, Starbucks dapat dihubungkan dengan daya beli, selera dan gaya hidup. Gejala konotasi yang berlapis ini dari Barthes.

Kopi dan kafein berhubungan dengan etos hardworking, bisa juga dengan kegemaran begadang. Yang jelas kopi adalah bekal nongkrong yang asik. Sejak kapan manusia membagi waktu menjadi saat bersantai dan bekerja?

Kopi ini tidak akan tumpah oleh guncangan, ini berhubungan dengan mobilitas. Kita lalu dapat menikmati kopi hangat di mana saja tanpa teko, termos, stoples gula, misalnya. Ini konsep portabilitas. Konsep mobilitas dan konsep portabilitas punya kaitan yang erat. Bagaimana kalau saya menghubungkannya dengan telepon genggam, komputer jinjing dan ipod. Dari sini banyak lagi konotasi yang dapat digali tentang portabilitas dan mobilitas.


Konotasi-konotasi dan konsep portabilitas dan mobilitas itu sendiri, berujung pada mitos tentang peradaban modern. Bahwa orang-orang modern sibuk dengan aktivitas dan pergi kesana kemari. Mitos ini juga tentang convenience. Bahwa teknologi modern memudahkan hidup kita.

Dari konsep convenience ini kita bisa memahami kenapa Yamaha Mio begitu populer, kenapa muncul mobile banking, layanan pesan antar, pengering tangan otomatis, dan MacBook. Mungkin kita belum sedemikian sibuk dan repot, tapi convenience menyematkan kita sebagai bagian dari peradaban modern.

Kita melihat bahwa saya melakukan upaya menghubung-hubungkan. Walaupun mungkin nampak mengada-ada di sana-sini, tapi somehow semua ini make sense juga buat Anda.

Jika hubungan-hubungan yang saya imajinasikan sesuai dengan imajinasi Anda juga, berarti kita berbagi ideologi yang sama. Althusser lah yang mendefinisikan ideologi sebagai hubungan imajiner.

Anda semua membaca ini berarti familiar dengan blog, pengguna aktif internet. Kita berbagi peradaban modern yang sama, ideologi-ideologi dan mitos yang sama.

Banyak isu lain yang bisa kita gali, sebenarnya. Konsep lain seperti narsisisme, eksistensi, metroseksualitas, youth culture. Hanya saja kalo saya terus meracau, tambah kelihatan bolong-bolong penguasaan materi dan tumpulnya analitis saya.

Buat saya ini sekadar perenungan terhadap pengalaman-sehari-hari. The rediscovery, the amazement, proses-proses ini tidak akan saya nikmati kalo segalanya terlanjur diterima apa adanya. Lahir dan besar di kota, semoga saja saya tetap kampungan.

Orang Marketing Kantor Cabang

Beberapa hari yang lalu tim kami dari kantor melakukan pendekatan ke kantor cabang salah satu perusahaan FMCG terbesar di Indonesia.

Pada perusahaan besar yang punya kantor cabang di daerah, bagian Marketing biasanya disatukan dengan Sales dan Distribusi. Orang-orangnya adalah orang lapangan yang banyak di gudang, di mobil pickup, truk, dan di pasar becek.

Saya tidak menikmati pembicaraan dengan orang-orang Marketing di Kantor Cabang seperti itu. Seringkali otoritas mereka seputar marketing sangat terbatas, bahkan knowledge seputar marketing pun minim. Karena pekerjaan mereka lebih pada penjualan, penyimpanan dan pengiriman, ngobrolin brand dan strategi marketing sering ga nyambung.

Hari itu saya belajar banyak untuk tidak underestimate orang lain.
Setelah sebelumnya mendapat sedikit brief, saya membuat presentasi sederhana untuk bahan obrolan.

Hari itu kami datang dengan santai dan sedikit malas. Cuaca mendung dan kantornya jauh. Di komplek pabrik, distribusi dan pergudangan bgt lah. Bakal ketiduran di tol.

Setelah dari slide ke slide kita ngobrol, kami sungguh merasa ditampar dengan komentar mereka yang disampaikan dengan ringan tapi mendalam. Bapak-bapak staf marketing dengan setelan Blue Collar itu ternyata menguasai bidangnya dengan baik.

Mereka berkata bahwa kami tidak memahami persoalan sama sekali, dan presentasi saya isinya tidak konsisten, tidak mengarah ke mana-mana, dan tidak memberi sesuatu yang baru. Biasa banget, jelek banget, malah.

Saya lupa bahwa sekalipun ini kantor cabang, tapi merupakan bagian dari perusahaan yang besar. Dan mereka tidak menjadi besar begitu saja. Mereka punya sistem yang keren, data dan resources yang tidak main-main.

Sambil terkekeh –menertawakan saya, mungkin – mereka memperlihatkan sebuah gulungan yang isinya data retail mingguan yang direkap per kecamatan se-Jawa Barat. Kertasnya A0, penuh dengan tulisan dan angka kecil-kecil, 8pt.

Mereka tahu permintaan dari tiap grosir dan warung setiap minggunya, mereka analisis trennya, dan mereka tahu why, how and whennya banget lah.

Mereka tahu bahwa grosir A permintaannya melonjak karena Pak Haji Anu bikin hajatan, mereka tahu kapan para pekerja di kawasan tertentu gajian, kapan mereka telat gajian, kasbon lalu akhirnya belanja.. Mereka tahu pada bulan apa yang paling sepi, berkaitan dengan kepercayaan tertentu di suatu daerah...

Mereka tahu fluktuasi konsumsi di tiap tempat, dari tiap brand dan varian yang mereka pegang, kaitannya dengan kebiasaan dan tradisi dan kondisi setempat. Kaitannya sama gengsi, kesukaan, dan kebiasaan setempat.

Mereka bahkan tidak hanya memperhatikan produk sendiri, mereka juga mencermati pesaing.
Program mereka, insentif mereka untuk pedagang, produk mereka..

Mereka juga tidak hanya menggarap konsumen, tapi juga para pedagang mulai dari agen hingga eceran. Mereka memposisikan para pedagang-pedagang kecil sebagai mitra yang sejajar. Bagi perusahaan FMCG raksasa ini, para pedagang di pasar adalah ujung tombak mereka, partner yang harus didengar keinginan dan kemauannya.

Staf-staf marketing ini tampil sederhana, karena mereka ingin menyatu dengan para pedagang eceran di pasar yang becek. Dengan para pembeli di kampung.

Dari cerita mereka saya diingatkan lagi betapa program komunikasi harus didasari pemahaman yang baik terhadap kondisi di lapangan.
Konsumen, pesaing, pedagang eceran, tren, keunikan lokal....

Ini kalimat klise; saya masih harus belajar banyak.

Tuesday, November 07, 2006

Dear Panitia Osjur

Maafin, kemarin saya ga sempat ke Jatinangor. Kita atur waktu lagi nanti ya. Saya masih akan sangat antusias membahas ospek jurusan.

Saya percaya, semua kegelisahan kita tentang buruknya Fikom Unpad atau apapun itu, bisa diatasi mulai dari sini.

Melalui osjur, kita empower (berdayakan) sebuah generasi. Menjadikan mereka mahasiswa yang punya sebuah Gambar Besar, sebuah peta tentang apa yang akan mereka jalani. Tentang apa yang seharusnya mereka harapkan dan apa yang seharusnya mereka tuntut dari kampus. Apa yang seharusnya mereka dapat. Serta jalan mana yang akan mereka ambil.

Kita tidak ingin lagi mahasiswa-mahasiswa yang berjalan seperti zombie, go with the flow tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi, atau ke mana arus ini sedang membawanya. Bagaimana ia bisa jadi mahaiswa yang kritis dan memulai perubahan, kalau ia sendiri tidak tahu apa yang ia inginkan.

Maka itulah intinya osjur. Menunjukkan pilihan-pilihan, dan mendorong mereka untuk menemukan pilihannya sendiri.

Seperti kata Pak Kunto, semua yang kita dapat di kampus ini seperti berkas-berkas yang berantakan, banjir informasi yang tidak terstruktur.

Kita butuh laci-laci berlabel agar kita bisa menempatkan semua informasi-informasi ini dalam tempatnya masing-masing, sehingga semua informasi ini menjadi sesuatu yang berarti.

Di poster, para peserta diperlihatkan suatu STRUKTUR. Barangkali untuk pertama kalinya, mereka mulai melihat mata kuliah-mata kuliah sebagai sebuah mata rantai yang saling berhubungan satu-sama-lain, dan membentuk sesuatu.

Dan Marx juga akhirnya sampai pada sebuah manifesto Pemberontakan, setelah mengawalinya dengan identifikasi terhadap Struktur. Whatever, nanti juga kamu dapet stumed lah.

Teman-teman, osjur adalah sebuah misi yang mulia. Semangatlah, dan banggalah menjadi bagian dari semua ini. Membawa perubahan, membina sebuah generasi, turut serta menjadikan mankom, dan fikom yang lebih baik.

Ambil tongkatnya dan berlarilah lebih kencang.

Untuk pandangan-pandangan ini, kita harus berterimakasih sama Pak Rakhman, Pak Kunto dan Bu Eni.

Bu Eni lah, yang pada pertemuan pertama di kelas PIM, memberi kita diagram mata kuliah di Media. Sejak saat itulah, anak Media -seharusnya- mulai menjadi peserta didik yang lebih aware dan empowered.

Lalu Pak Rakhman -masih di kelas Media- membuka mata kita selamanya dalam melihat media massa. Kita tidak lagi menerima keberadaan media sebagaimana adanya sebagai seorang penikmat saja, melainkan mulai bisa melihat betapa di balik media massa ada sebuah industri. Perlahan tapi pasti Sabtu, Pak Rakhman memperlihatkan kepada kami bagaimana indutri itu berjalan.

Tanpa ttugas-tugas dari Pak Rakhman, mungkin kita tidak akan kenal Cakram dan tidak akan benar-benar menghayati nikmatnya tidur enak di Malam Minggu setelah tugas beres.

"Hingga, Tidur terasa menjadi sebuah kemewahan" kata Pak Kunto, suatu hari.

Konsentrasi Media di mankom mempelajari media massa baik sebagai sebuah entitas ekonomi maupun sebagai institusi sosial.

Secara ekonomi, media massa memproduksi pesan yang menarik secara komersial, kepada audiens dan kepada pengiklan.

Secara sosial, media massa merupakan sebuah lembaga yang keberadaannya saling mempengaruhi dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat.

Konfigurasi dosen serta materi perkuliahan di Media, memperlihatkan kedua aspek tersebut.

Demikianlah saya sedikit menceritakan, pemetaan saya terhadap konsentrasi Media di mankom. Kamu mungkin punya versi kamu sendiri. Ini entah jam berapa dinihari dan mata saya mulai berair.

After a long break

Saya udah lama ga posting. Setelah libur lebaran, berbagai kesibukan menghalangi saya untuk kembali menjadi seorang pengasuh blog. Maka saya baru sempat mengucapkan Minal Aidzin dst.. itu lewat blog sekarang.

Ketimbang mengurus sebuah blog tentang media, advertising dan fikom, saya sibuk menjalani hal-hal tersebut. Yah itu tadi, menjadi mahasiswa fikom sekaligus praktisi dalam industri ini (hikikik..). Belum lagi peran-peran lain dalam hidup saya.

You can't tell a story, if you don't have one.
But you can't tell a story if you're too busy looking for one, neither.

Yah itulah saya. Berlari ke sana kemari, mencari cerita untuk dijalani. Hanya supaya ada sesuatu yang nantinya bisa saya ceritakan.

Haha... memang susah yah, menjaga sebuah blog from being too personal.

Hmmppff...
Teks dan konteks.

Alamat JobTraining Radio Bandung

Kota Bandung, mungkin adalah salah satu kota dengan jumlah stasiun radio terbanyak di dunia. Setidaknya demikianlah kata Pak Duddy Zein pada suatu hari di kelas MPSR.

Bagi teman-teman yang bermaksud untuk jobtre di radio di bandung, saya harap bukannya cuma demi alasan kepraktisan (pagi ke kampus jatinangor, sore jobtre di bandung, malam nyusun skripsi di kosan, besoknya lulus deh)

Pertama, karena kepraktisan dan kemudahan tersebut adalah fatamorgana (tulislah tato di tangan bertuliskan "Remember Citra Indah Lestari" seperti di film Memento).

Bacalah perjuangan beliau di postingan terdahulu.

Kedua, karena ada alasan lain yang jauh lebih gaya untuk dikatakan kepada orang lain tentang alasan jobtre di radio Bandung. Kota Bandung teman-teman, adalah kiblat industri broadcasting radio di Indonesia. Di Bandunglah didirikan sekolah radio yang begitu gaul. Dari radio di Bandung juga nama-nama seperti Sogi Indradhuaja, Annisa Larasati Pohan Yudhoyono, atau Uwa Kepoh berasal (Uwa Kepoh adalah seorang tokoh penyiar jadul yang terkenal dengan berbagai karakter suara yang bisa ia perankan secara simultan dalam sandiwara radio, pada masa-masa di mana telepon belum meluas sehingga belum ada acara salam-salaman dan request-requestan), ada yang bisa bantu saya melengkapi Hall Of Fame ini?

Barusan adalah intro untuk postingan berikut ini. Sebuah titipan dari seseorang khusus (someone special) yang namanya tadi telah saya sebut dengan gamblang.

Inilah titipannya, semoga bermanfaat:
--------------------------------------------------------------------------

Tentang job tre di radio bandung, ini beberapa radio dimana saya pernah menimba dan mendedikasikan ilmu :p...

99r:
kalo pengen di bagian program, call Fera Program Director... kalo di bagian promosi/PR/Marketing call George (Joje) - Marketing Manager... telponnya ke 4222666.
Alamat: Jl. Asia Afrika No. 57-59 BRI Tower 14th Suite

Prambors (anak muda)/Female (dewasa muda) /Delta (dewasa abis)...
kantornya ada di Hotel Preanger (bentar lagi pindah sih, ke mall deket rumah kamu yg ada Carefour ama SOGO itu)... tapi sekarang masih di Hotel Preanger,Jl. Asia Afrika No. 81. Telp: 4224546. Program Director (PD) FeMale: Benny. PD Prambors: Willy. PD Delta: (lupa namanya, tapi masih inget mukanya :D).. radio baru, banyak tantangannya nih...

SE mau ga?hehehehehe.... kalo magang di SE, pasti bakal kerja berat... soalnya mereka kekurangan SDM, jadi anak magang pasti sangat dikaryakan... Kalo rajin, bisa belajar banyak (bahkan bisa langsung diangkat... waktu jaman saya jadi PD disana, saya ngangkat 3 anak Fikom 2001 jadi produser , gara2 pas magang mereka kerjanya oke... ), .... telp 2034567 (CP nya yang saya kenal udah pada pindah
:D).. kantornya di Cihampelas (Premier Supermarket - yang ada McD), sebrang Ciwalk... tepat di bawah Studio East... (lupa alamat kumplitnya)

yang biasanya open juga buat anak magang: MQ, Mara, PAS FM...

alamat n no telp, coba check ke http://www.geocities.com/bandungcity/radio.htm
atau
http://ms.wikipedia.org/wiki/Daftar_Stesen_Radio_Indonesia

eh mau magang di GREY Magazine? lumayan lhoh bisa ngeceng anak SMA melulu :D... coba hubungin Mo Sidik, Editor In-Chief. Telp ke 4219609. Alamat: Jl. Sulanjana 11, Bandung

Jadi, masih mau belajar?

Saturday, October 14, 2006

Inspirasi Permed

Ini buat inspirasi Permed

detikINET (bagian dari detik.com), menyelenggarakan pelatihan nge-blog buat ibu-ibu!
Dan pelatihan-pelatihan lain untuk berbagai komunitas.

Liat itu, laptopnya banyak bgt!
Klik di sini


IT Literacy?

Alamat Agency Bandung Buat Jobtre

Temans, kmrn bnyk yg tny ttg kmngkinan jobtre d advertising agency Bdg.

Ada bnyk keuntungan jika kita jobtre di agency Bdg:

1. ga usah mikirin susahnya living in Jkt

2. kalo udah nerima, mrk biasanya sgt kooperatif dan kekeluargaan

3. bs smbil mjalani hal ln di Bdg

Berikut ini bbrp agency yg setau sy ckp terbuka dan mgkn nerima jobtre.

SKALA Jl Dipatiukur no 23 2504923/2509526

ENKAPE (PT NUANSA KREASI PRATHAMA) Jl. PHH. Mustopa No. 35 Lt. 1 70696272/70145368

MITRAMARK (PT PROMO NIAGA MITRA MARKINDO) Jl Arum Sari I No 5A Bbk Sari Kircon 7203497

SMALL & SMART: CV SMAAL & SMART jl. Ir. H.djuanda NO. 426 70714104/2533409

CABE RAWIT BANDUNG ITC Kosambi C22 Jl. Baranang Siang 4222086

Cresion Creative Community Jl. Ciumbuleuit 151C 2nd floor 2043204

Gudluck!


Untuk informasi jobtre di radio, ada mau share info?


Untuk informasi seputar Tugas Perencanaan Media (Kampanye Medlit), blog ini juga menyediakan resource center. Letaknya di sebelah kanan kamu ini, dalam box. Semacam portal yang berisi link menarik.

Semoga bermanfaat

slmt lebaran dan liburan

mhn maap lahir batin

Dedicated To Mas Wowox

Satu lagi tulisan inspiring darinya.
*Cit, kamu mau saya sebut nama di sini? We havent discussd this :p

---------------------------------------------------------
My Relationship With Foucault

Mengenal kamu memang membuat saya merindukan masa-masa dulu…

Masa-masa saya, Mas Wowox, dan Bebek Kuning bertengkar soal Foucault…

Aku ngga peduli Foucault ngomong apa lagi! Aku cuman mau pake teorinya yang ini titik. Aku ngga mau eksplor dia lagi! Semakin di-eksplor, aku makin kehilangan arah!!”

Lalu, masa-masa saya menangis, memohon supaya skripsi saya ngga perlu diselesaikan…

Aku ngga pernah bisa ngeliat ujungnya…aku ngga bisa ngebayangin gimana skripsi ini selesai… ”

Saya memang keras hati… Sejak pertama saya denger CDA ala Foucault, saya tahu bahwa teori itu bisa membuktikan teori saya tentang media… dan saya ingin membuktikannya… Meskipun….

Cieee, Cicit… gaya banget deh pake Foucault!”

Alaah, kenapa susah-susah sih? Yang penting lulus cepet lah cit…”

Cuman satu yang dukung saya waktu itu… mendukung, menemani, membantu, dan meyakinkan bahwa CDA akan menemukan ujungnya dengan sendirinya…

Tolong sampaikan tulisan ini ke Mas Wowox ya… Saya ingin dedikasikan ini karena dia selalu ada saat itu..

Asumsi Awal: Dua tahun bekerja sebagai pengelola pesan di media, membuat saya menolak mentah-mentah teori klasik bahwa media itu jahat. Bahwa media dengan sengaja mempengaruhi khalayaknya, membentuk agenda setting, menusuk khalayaknya seperti jarum suntik dan memaksakan pengaruhnya…

Bagaimana saya bisa setuju? Dalam menyusun pesan, banyak hal yang harus saya perhatikan… Harus sesuai trend, harus sesuai kebutuhan pendengar, harus sesuai kemauan pengiklan, harus begini-harus begitu…

Langkah Awal: Saya adalah generasi yang ingin eksis. Generasi yang selalu up date dengan trend. Dan saya punya cita-cita untuk selalu eksis di dunia populer. Jadi, skripsi saya harus populer doong?!

Satu terminology yang sedang trend saat itu: METROSEKSUAL!!

I have to use that terminology di skripsi saya..

Masalahnya… saya tidak menemukan teori yang bisa saya gunakan… Sampai saya dikenalkan pada Foucault yang percaya pada kecelakaan sejarah… yang mengatakan bahwa Y tidak selamanya disebabkan oleh X…

So I have to use Foucault to verify my theory… No Matter What!!

Perjalanan Panjang: Dasar dari Foucault adalah sejarah. Jadi saya berkelana mencari asal muasal Metroseksual…

Saya berkenalan dengan Mark Wahlberg dan celana dalam Calvin Klein-nya yang terkenal: SHORT BRIEF

Saya juga berkenalan dengan Mark Simpson, gay yang menciptakan kata METROSEKSUAL…

Saya sampai bercita-cita bekerja di Mark Plus & Co karena merekalah agency Indonesia yang pertama kali melakukan riset tentang Metroseksual…

Saya juga harus berkencan dengan Ery Prakasa, Editor In-Chief FHM Indonesia, majalah laki-laki yang dinobatkan sebagai majalah metroseksual pertama di Indonesia (kenapa nama editor in-Chief nya bukan Mark Prakasa ya?)

Tapi itu baru awalnya…

Setelah berbulan-bulan menyusun sejarah panjang Metroseksual (silakan liat cerita lengkapnya di jurusan), saya harus mencari relasi kuasa antara Metroseksual dan FHM… Jadi saya harus mengupas satu demi satu semua rubrik di FHM… mencari hubungan antara kajian feminis, aktivitas kaum gay, kapitalisme, dan kebiasaan pria-pria straight metroseksual yang doyan grooming… icon nya adalah






Saat itu, siklus hidup saya adalah:

11 to 8 kerja di Radio – 8 to 3 ngetik skripsi – 7 to 10 bertengkar sama mas wowox membahas skripsi…

Dan, skripsi saya masih juga belum selesai…

Karena seminggu sebelum deadline penyerahan skripsi, Bu Eni menyatakan bahwa kajian saya terlalu focus ke wacana Metroseksual dan tidak mengupas FHM –sang media- cukup dalam…

Putus asa… mau nangis…mau muntah… mau mati…

Seminggu penuh ngejar-ngejar orang FHM, pulang pergi Jakarta-Bandung untuk menyaksikan mereka memproduksi satu FHM, begadang dengan mas Wowox, bebek kuning, dan kopi tubruknya…

Akhirnya: saya berhasil membuat peta relasi kuasa antara rutin media FHM, kajian feminis, perilaku gay, dan kapitalisme…

Saya berhasil membuktikan bahwa FHM tidak hanya memproduksi pesannya karena kapitalisme… bahwa FHM adalah sebuah media yang tunduk pada kuasa-kuasa lain yang tidak terduga… Coba, siapa yang setuju bahwa FHM ada karena semangat feminis perempuan semakin kuat?! Teori yang susah diterima kan? Well, but it is!!

Ingin sekali dengan bangga saya tampilkan peta tersebut… tapi file nya udah entah dimana… (mungkin mas Wowox masih simpan?)

Dengan sombong, saya akan menyatakan bahwa peta itu sangat spektakuler. Memang ada satu panah yang salah arah, tapi toh tidak satu pun dosen penguji menyadarinya kecuali Mas Wowox dan Bu Eni yang saat itu ada di kubu saya… hehehe…

And here I am… dengan sombong pula saya ingin bilang bahwa…

Meskipun kamu bekerja full time sambil kuliah, meskipun kamu ingin mengusung tema paling populer dengan menggunakan pisau analisis kritis paling rumit, kamu tetap bisa lulus 4 tahun dengan predikat cum laude… :D

Berpikir kritis dan tetap trendy… salah satu misi hidup saya yang masih saya jalani, hahahaha…. (bahasa Pak Rachman adalah Otak kiri-Kantong kanan)

Dan dengan rendah hati, saya ingin bilang bahwa… kalau saya tidak belajar di Manajemen Media Fikom Unpad, itu semua tidak akan terjadi…